Sunday, July 04, 2021

Celah Kreatif dalam Membangkitkan Soliditas Islam

 Celah Kreatif dalam Membangkitkan Soliditas Islam
Tugas UAS Mata Kuliah Islam Diplomacy and International Relations
oleh ; Isnandar, mahasiswa S2 Post Graduate Study on Diplomacy, Universitas Paramadina


Pengantar

Ketika mendapat tugas/pertanyaan, pandangan kita terhadap soliditas dunia Islam (yang saya baca menjadi ‘bagaimana membangun’ soliditas dunia Islam), adalah sesuatu yang sulit rasanya untuk diwujudkan. Karena berdasarkan sejarahnya, dunia Islam sudah terbagi (terpecah) langsung tidak lama setelah wafatnya Rasulullah.


Sejarah kekuasaan Islam setelah wafatnya rasullah

Setelah wafatnya Rasullullah Muhammad pada tahun 632 Masehi, terpilih lah Abu Bakar sebagai Khalifah dan kemudian di gantikan oleh Umar bin Khattab, Usman dan kemudian Ali bin Abi Thalib. Ke empat khalifah ini digolongkan sebagai khulafaur Rasyidin. Masing-masing dari empat Khulafaur Rasyidin ini hanya menjabat dalam jangka waktu yang bisa dibilang sangat pendek terutama jika kita memandangnya dalam perspective masa jabatan kepala negara / kepala pemerintahan dalam dunia moderen saat ini. 

Khalifah Abu Bakar menjabat selama 2 tahun dari 632 sampai 634 Masehi, Umar bin Khattab menjabat selama 10 tahun dari tahun 634 sampai 644 Masehi, Usman menjabat selama 12 tahun sampai 656 Masehi. Dan Khulafaur Rasyidin yang terakhir, Ali bin Abi thalib menjabat selama 5 tahun dari 656 Masehi sampai 661 Masehi. Total masa jabatan 4 khulafaur rasyidini ini adalah selama 29 tahun sejak wafatnya Rasulullah.

Salah satu catatan penting yang harus kita ingat adalah, bahkan dari sejak masa awal pemerintahan Islam sebagai sebuah negara, telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan elit pemerintahan Islam itu sendiri. Proses terpilihnya Abu Bakar  sebagai khalifah pertama yang menggantikan Rasulullah, menyisakan sebuah perdebatan tiada henti sampai 2000 tahun setelah hal itu terjadi. Karena sebagian kalangan dari Islam itu sendiri berpendapat bahwa semestinya yang saat itu menggantikan Rasulullah bukanlah Abu Bakar, tetapi harusnya adalah Ali Bin Abi Thalib. 

Berakhirnya masa jabatan Umar, Usman dan Ali pun disebabkan oleh pembunuhan terhadap tiga pemimpin umat ini. Sebagai akibat terjadinya fragmentasi terhadap umat akibat adanya perbedaan pendapat di antara umat itu sendiri. Dalam masa pemerintahan Ali bahkan terjadi perang saudara dengan Aisyah, istri nabi. Terlepas dari perdebatan mana yang benar diantara semua pihak yang bertikai di masa awal Islam setelah wafatnya Rasulullah ini, tetapi satu hal yang harus kita catat adalah, ini semua adalah internal conflicts dalam Islam itu sendiri, yang terjadi bahkan di antara umat yang sama-sama pernah bertemu dan berdialog langsung dengan Rasulullah.

Merenungkan apa yang terjadi dalam fragment sejarah ini, menjadi sebuah tanda tanya besar bagi kita, apakah benar kita bisa mewujudkan sebuah Soliditas Islam, di saat sekarang, 2 milenial setelah waftanya Rasulullah?


Masa Keemasan Islam

Rentang waktu 750 - 1258 Masehi di golongkan sebagai masa kejayaan Islam. Ini adalah rentang waktu dimana Eropa masih dalam era kegelapan. Kejayaan Islam di capai karena berkembangya ilmu pengetahuan baik sosial science (filsafat dan cara berpikir) dan terutama ilmu-ilmu science dan teknik (aplikasi science). Dan ilmu pengetahuan ini semua bersumber dari interpretasi umat atas apa yang ditulis dalam Al-Qur’an.

Jejak sejarah masa keemasan Islam ini masih menjadi fondasi dasar dari peradaban dunia saat ini, terutama dalam bidang kedokteran, teknik Fisika, kimia, matematika dan banyak lagi.

In early Islamic history, Muslims were scientifically and economically superior to Western Christians because they ascribed high status to scholars and mer- chants, whereas Europe was mostly under the hegemony of the clergy and the military elite. Later on, the positions eventually became reversed. In Muslim lands, the ulema and the military elite became dominant, while in Western Europe, scholars and merchants became increasingly important. In a nutshell, this reversal explains the rise of Western Europe and the decline of the Muslim world. 

(Kuru, A. (2019), Islam, Authoritarian, and Underdevelopment, Cambridge University Press, United Kingdom)


Beberapa ilmuwan dari masa keemasan Islam dan memiliki karya yang menjadi fondasi kehidupan modern saat ini adalah; 

1. Ibnu Sina (Avicenna)

Seorang filsuf yang terkenal di dunia medis. Pelopor kedokteran experimental. Dia bahkan dijuluki sebagai bapak Kedokteran Modern. Ibnu Sina juga adalah dokter pertama yang mendiagnosa meningitis, bagian mata, katub jantung, dan menemukan hubungan jaringan syarat yang berkaitan dengan nyeri otot. Pendekatan kedokteran modern tidak bisa terlepas dari cara karya yang di hasilkan oleh Ibnu Sina, terutama dari bukunya The Canon of Medicine (terjemahaan Inggris) dan Kitab al-Shifa (The Book of Healing).


2. Al – Zahrawi

Sama seperti Ibnu Sina, Al – Zahrawi adalah Bapak ilmu bedah modern. Dia berhasil mengenalkan catgut (benang) sebagai alat untuk menutup luka. Selain itu, dia juga menysusun buku At-Tasrif liman Ajiza an at-Ta’lif yang menjadi rujukan para dokter hingga sekarang. Di dalamnya, Al – Zahrawi menuliskan hal-hal yang terkait tentang bedah, penyakit, dan temuan-temuannya berupa alat kedokteran.


3. Al – Khawarizmi

Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi adalah ahli matematika Islam yang dikenal sebagai penemu aljabar. Selain itu, ilmuwan asal Persia ini juga menemukan algoritma dan sistem penomoran. Al-Khawarizmi juga dikenal ahli di berbagai bidang, seperti astrologi dan astronomi.


4. Abbas ibn Firnas

Selama ini mungkin kita hanya mengenal Wright bersaudara sebagai orang pertama yang menemukan pesawat terbang sekaligus manusia pertama yang berhasil terbang. Padahal pada tahun 9 Masehi, Abbas ibn Firnas sudah berhasil mendesain alat yang memiliki sayap untuk terbang layaknya kostum burung. Alat tersebut dibuat dengan perhitungan dan penelitian yang rumit. Pada waktu percobaannya, ia berhasil terbang cukup jauh hingga kemudian jatuh dan mematahkan tulang belakangnya. Ia kemudian menginspirasi ilmuwan barat untuk mengembangkan pesawat.


5. Ibnu Al Haytham

Ia dikenal sebagai Bapak Optik Modern. Karyanya yang terkenal adalah Kitab al-Manazir (Book of Optics) yang hingga kini diakui sebagai rujukan ilmu optik. Al Haytham berhasil menjelaskan bagaimana cara kerja optik mata manusia dalam menangkap gambar secara detail. Ia juga memberikan kontribusi dengan melakukan penelitian terhadap lensa, cermin, dan dispersi cahaya.




6. Jabir ibn Hayyan

Jabir Ibn Hayyan adalah seorang ahli kimia yang berasal dari Iran. Ia berhasil melarutkan emas dan menemukan asam kuat seperti asam sulfat, hidroklorik dan nitrat. Untuk menetralisir “monster” yang ia ciptakan, yaitu asam, ia kemudian memproduksi alkali. Karya-karyanya yang berupa buku adalah Kitab Al-KimyaKitab Al-Sab’eenKitab Al-Rahmah, dan lain-lain.


7. Ahmad ibn Tulun

Ia adalah orang pertama yang mencetuskan perawatan medis modern berupa rumah sakit Al-Fustat di Kairo, Mesir. Tulun yang saat itu menjabat sebagai gubernur menyediakan layanan kesehatan yang gratis untuk semua orang membutuhkannya.Rumah sakit yang dibangun pada abad ke-9 tersebut sudah memiliki manajemen perawatan yang modern, rinci, dan maju. Al-Fustat juga menyediakan perawatan untuk pasien gangguan jiwa.


8. Al – Battani

Al – Battani merupakan seorang astronom yang berhasil menemukan hitungan dalam satu tahun terdapat 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik. Pria dengan nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Jabir ibn Sinan ar-Raqqi al-Harrani as-Sabi al-Battani ini juga menemukan sejumlah persamaan trigonometri.


9. Ibnu Khaldun

Dia merupakan salah satu ilmuan islam popular di dunia yang berasal dari Tunisia. Dia dikenal sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi, dan ekonomi. Adapun karya-karyanya yang paling dikenal yaitu Muqadimmah. Terlebih, dia sudah hafal Al-Quran sejak dini. Pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun tentang teori ekonomi yang logis dan realistis sudah ada lebih dulu, sebelum Adam Smith dan David Ricardo mengemukaakan teori-teori ekonominya. Ketika usia remaja, tulisan-tulisan Ibnu Khaldun dengan studi dan pengamatan yang sangat mendalam, sudah menyebar ke mana-mana.


10. Al-Jazari

Abu al-Iz ibn Ismail ibn al-Razaz al-Jazari adalah seorang ilmuan dari Al-Jazira, Mesopotamia, yang hidup pada abad pertengahan. Ia menulis buku Pengetahuan Ilmu Mekanik tahun 1206, dimana ia menjelaskan lima puluh peralatan mekanik berikut instruksi tentang bagaimana cara merakitnya.

Al-Jazari merupakan seorang tokoh besar di bidang mekanik dan industri, mendapat julukan sebagai bapak Modern Engineering berkat temuan-temuannya yang banyak mempengaruhi rancangan mesin-mesin modern saat ini, diantaranya combustion engine, crankshaft, suction pump, programmable automation, dan sebagainya.


Kontroversi dan Kritikan dari dalam Islam sendiri

Seperti mengulang kontroversi dan paradox yang berlangsung sejak zaman-zaman awal terbentuknya Islam, merujuk pada konflik dan versi-versi cerita (penjelasan) yang berbeda atas terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama, pembunuhan yang menyebabkan berhentinya masa pemerintahana khalifah Umar, Usman dan Ali. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada tokoh-tokoh ilmuwan muslim diatas. Disampingnya prestasinya yang mentereng dalam science terutama ilmu kedokteran dan filsafat, Ibnu Sina juga mendapatkan kritik dari dalam kalangan Islam sendiri, dan bahkan di cap sebagai Ateis (tidak percaya adanya Tuhan). 

Kita bisa mengambil satu catatan penting walau agak pedih: Kontroversi itu sendiri muncul dari dalam internal Islam, belum lagi karena factor external. Dan perbedaan pendapat itu bisa sangat tajam sehingga berujung pada pembunuhan.


Islam dalam Khasanah International Relation

Membaca sejarah Islam di atas, baik masa-masa keemasan Islam, terutama dalam bidang science dan pemikiran, di saat Eropa masih dalam zaman kegelapan. Dan kemudian kita hubungkan dengan sejarah terbentuknya study International Relation, mulai dari Westphalia sampai negara modern saat ini, kita seolah ingin mencampurkan dua hal yang memang sulit untuk tercampur.

Study International Relation ala Barat bersandarkan pada sekularisme dimana berawal pada kemuakan atas kontrol berlebihan gereja atas jalannya pemerintahan. Sementara kalangan Islam yang mendalami study tentang bagaimana sebuah negara harusnya diatur, bersandar pada interpretasi hadist bahwa Islam adalah agama yang komplet dan menyediakan solusi untuk semua bidang kehidupan, termasuk bagaimana seorang pemimpin negara dipilih (sebagai interpretasi mereka atas ajaran Islam). 

Study International Relation yang berkembang pesat di awal abad 20, telah dibangun dengan mengabaikan agama. Selain karena protes atas dominasi gereja yang terlalu jauh ke dalam pemerintahan (disampaikan di atas), juga di tambah dengan berkembangnya paham komunisme / materialisme di zaman tersebut. Para pendiri dan pemikir ilmu social barat dan penerusnya menolak penjelasan yang disediakan agama tentang bagaimana mengatur dunia. Mereka percaya bawaha faktor-faktor primordial seperti etnis dan agama tidak seharusnya mendapatkan tempat secara rasional dalam dunia modern dan bagaimana dunia ini harusnya diatur. 

We further argue that these phenomena, and thus the tendency to ignore religion, were stronger in international relations scholarship than in other social science disciplines. We identify other factors such as the reality of international relations being heavily influenced by behavioralism and the use of quantitative methodology as further causes for international relation’s blind spot for religion. Those who use this approach to international relations are often accused of ignoring what they cannot measure and religion is among the most notoriously difficult things to measure.

(Fox, S. Sandler, S. (2004), Bringing Religion into International Relation, Palgrave Macmillan, USA)


Arus pemikiran utama dalam International Relations study juga berpijak pada asumsi mengesampingkan agama dalam study bernegara. Contoh, Realism yang berfokus pada teori bagaimana meraih kekuasaan sebagai dasar utama membangun hubungan antar negara. Pandangan pragmatic ini mengeluarkan faktor-faktor intangible seperti agama dalam pemikiran, dan fokus pada faktor- faktor tangible seperti wilayah, populasi, kekuatan ekonomi dan kekuatan militer. 

Salah satu pemikiran dan tulisan paling berpengaruh setelah era perang dingin mengenai hal ini tentu saja tulisan Samuels Huntington’s, “The Clash of Civilisation” yang meramal perbenturan barat (sekular) vs islam (agama).

Perkembangan pemikiran science di awal abad pertengahan sampai awal abad 20 juga ‘sangat mendukung’ terjadinya pemisahan ini. Filosofi utama science di zaman ini, berpijak pada hukum Newton (Newtonian) dimana secara filosofis, manusia yang melakukan penelitian terhadap science itu, berjarak dengan objek penelitiannya. Konsep yang berjarak dengan object ini, bertemu mesra dengan konsep pemikiran sekularisme, yang awalnya di dorong oleh protes atas absolutnya kekuasaan gereja ke dalam sendi-sendi pemerintahan. Bahwa saya bisa memisahkan diri dengan sangat jelas antara saya sebagai Manusia biasa dalam hubungan sesama Manusia dan saya sebagai Manusia dengan Tuhan saya. 

Hal ini tentu saja tidak akan pernah bertemu jika dihadapkan dengan pemikir Islam yang mengatakan bahwa semua tentang tatanan bernegara sudah diatur dalam Islam dan ANDA tinggal mengikutinya, dengan SAYA lah yang jadi si pemimpin. Ada tiga perbenturan besar dalam konsep ini yang membuat semua mustahil untuk bersatu

  1. Pertama, konsep berpikir sekularisme VS semua sudah di atur oleh Agama.
  2. Kedua, kalaupun semua sudah di atur dalam agama, lalu kenapa harus mengikuti agama Islam (bagi yang non muslim)
  3. Ketiga, okelah semua memang sudah diatur dalam agama Islam dan kita akan menjalankannya. Tetapi kenapa interpretasinya menjadi harus ANDA / GOLONGAN ANDA yang jadi Khalifah ? Sementara saya dan golongan saya harus jadi umat ‘saja’. 


Tetapi ketika era fisika Newton digantikan oleh zama fisika kuantum, dengan tokoh utamanya adalah Einstein dan Eisenhover, penafsiran terhadapa fisika dan bagaimana alam bekerja menjadi berubah total. Jika dalam era Newtonian semua seperti bisa dijelaskan dalam kerangka ‘mekanis’ dan anda bisa menjaga jarak dari objek penelitian / pengamatan anda. Maka era Fisika kuantum mengatakan, anda tidak bisa menjaga jarak dari objeck penelitian anda, karena anda sendiri adalah bagian dari objeck itu. Apa yang anda amati saat ini, jika anda diamkan dan lihat lagi besok dan berharap semua akan sama saja (ruang waktu ‘pause’) itu tidak pernah akan terjadi. Karena waktu adalah suatu faktor utama yang bisa memberikan perubahan yang sangat berbeda. 

Hal ini setali dengan sumpah Allah dalam Al-Qur’an; “DEMI MASA”

Ada prinsip-prinsip ketidakpastian (Schrodinger) dalam sebuah pengamatan. Ironisnya, dari semua kemungkinan ketidakpastian itu, kok bisa di beberapa sektor kehidupan/science, terjadi ‘pengulangan-pengulangan’ yang teratur dan pasti. Dan itu hanya Mungkin terjadi jika ada satu zat yang maha besar mengatur semua; TUHAN.

Perbedaan cara pandang seperti ini, bisa menjawab phenomena tentang komunisme di zaman pertengahan abad 20; “Jika anda mempelajari tentang komunisme, lalu anda tidak menjadi komunis, maka kemungkinan besar anda ‘bodoh’. Ketika penulis membaca “Madilog” karya Tan Malaka, memang terasa keberadaan ‘kutukan’ ini. Logika science yang dihadapkan memang sangat rinci, sangat logis dan sulit dibantah. Seolah-olah dunia memang hanyalah sebuah mesin raksasa, yang semua bisa dijelaskan secara mekanis. Beruntung kita membacanya di tahun 2,000-an ketika dasar-dasar dan pengetahuan tentang science sudah mencapai era Fisika kuantum, yang memberikan ruang yang jelas akan keberadaan TUHAN dalam mengatur semua ini. 




Tangible dan Intangible

Dalam kehidupan ini, selalu tersedia dua hal yang sebenarnya saling melengkapi, tetapi seringkali juga menjadi akar permalahan. Pertama, hal-hal yang tangible atau terukur secara angka, umur, waktu, berat, hasil jajak pendapat, nominal (uang, moneter, inflasi), jumlah penduduk dan banyak lagi, hal-hal yang kuantitatif. Dan Kedua hal-hal yang tidak terukur secara angka seperti kemakmuran, kebahagiaan, iman, mahal, murah, perasaan, emosi dan lain - lain, hal-hal yang kualitatif.

International Relation study sangat terpengaruh pada pemikiran dan pendekatan yang kuantitatif. Sementara pendekatan agama, biasanya masih bersandar pada hal-hal yang kualitatif dan kemudian tidak mau menggiring hal yang kualitatif tersebut menjadi target-target yang kuantitatif. 

Tentu saja ruang perdebatan akan selalu tersedia dan tidak akan pernah berhenti jika semua didekati dengan pemikiran kualtitatif (intangible) semata, terlebih itu kemudian berangkat dari pemahaman beragama. Belum lagi jika mitra debat/diskusinya berasal dari agama yang berbeda, atau dari agama yang sama tapi memiliki interpretasi yang berbeda atau bahkan dari kalangan yang tidak percaya pada agama. Ini semua akan menghasilkan perdebatan yang tidak henti, membuang waktu dan kadang seringkali meruncing pada perselisihan dan bahkan peperangan.

Pendekatan dalam study hubungan international cenderung mengabaikan agama karena sulit untuk dijadikan sebagai kuantitatif parameter, agama dan keberagamaan adalah hal yang paling sulit di ukur. Sebuah wacana dan sumbangsih pemikiran yang sangat bagus di berikan oleh akademisi dari George Washington University, Hossein Askari dan Dr Scheherazde S Rehman yang melakukan penelitian kuantitatif “Islamicity Index” yang secara mengejutkan memberikan list negara berdasarkan tingkat pemahaman dan penerapan nilai-nilai Islam, dan daftar itu dipenuhi oleh negara-negara barat yang secara official adalah ‘non islamic state’, sementara negara-negara yang officially adalah Islam justru tidak masuk pada daftar atas.

Islamicity Indices mengukur penerapan nilai-nilai Islam dalam benegara, terkait pada 

Hal ini tersambung dengan perkataan Muhammad Abduh : “I went to West and saw Islam, but no Muslims. I go back to East and saw Muslims, but no Islam”. Dan juga tersambung dengan slogan yang disuarakan oleh Nurcholis Madjid di tahun 1970 “Islam Yes, Partai Islam, No”. Sebuah muara atas protes internal, kritikan internal bahwa banyak yang mengaku mewakili Islam, tetapi tercerabut dari ke islaman nya sendiri atau setidaknya menemui kesulitan, belumlah untuk memberikan manfaat pada umat, tapi justru mengalami kesulitan untuk mendapatkan claim dan kepercayaan bahwa institusinya dianggap akan mewakili umat. 


Fenomena Labelisasi Islam dalam Politik

Yang subur berkembang dalam kaitan antara agama dan International Relation study adalah pengakuan, claim, dan labelisasi Islam. Karena memang masyarakat banyak masih sangat haus akan simbol-simbol tersebut. Sebuah paradox jika kita memahami situasi ini. Di satu sisi, International Relation study seperti menjaga jaraknya dari agama dan menjadi lebih sekular, tetapi dalam upaya perebutan kekuasaannya, para aktor politik memerlukan simbol agama untuk melegitimasi kekuasaan. 

Dan ini terjadi bukan hanya di negara berkembang atau negara Islam, bahkan untuk negara-negara maju dan seolah tergolong sangat sekular pun. Seperti di USA, 1 dari 5 orang Amerika berpandangan bahwa seorang president Amerika, harusnya adalah seorang yang religius. Dan dari 46 president Amerika, baru dua orang (Kennedy dan Biden) yang berasal dari Catholic, sementara yang lainnya dari Protestan.

Kebutuhan akan legitimasi agama untuk jabatan presiden akan lebih besar efeknya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Seorang presiden di Indonesia, tidak saja akan dikaitkan pada latar belakang keagamannya tetapi juga pada efek-efek spiritual ‘non agama’ lainnya, seperti ‘wahyu’. Di era Soeharto, diyakini bahwa Soeharto mendapatkan ‘wahyu’ menjadi presiden melalui istrinya. Dan ketika istrinya wafat pada tahun 1996, tidak lama setelah itu (2 tahun), kekuasaan yang berlangsung selama 3 dekade itu, berakhir. 


America and War On Terror

Penggunaan labelisasi agama, pemanfaatan simbol dan sentiment terhadap agama, di pertunjukkan dengan sempurna oleh America. Selama perang dingin, ketika berhadapan dengan USSR, Amerika mendorong dan berada di belakang terbentuknya group-group militan Islam sebagai sekutu amerika dalam perang menghadapi Sovyet di Afghanistan. Amerika juga mendukung banyak sekali pan islamic bloc selama era perang dingin sebagai proxy untuk berhadapan dengan Sovyet dan mengamankan sumber daya alam yang sangat di perlukan Amerika.

Dan setelah era perang dingin usai, group-group yang tadinya di bina, didirikan dan didanai oleh Amerika, berubah menjadi musuh bagi Amerika. Karena kepentingan masing-masing yang sudah berubah. Amerika tidak membutuhkan mereka lagi sebagai proxy untuk berhadapan dengan Sovyet, bahkan sekarang group-group itu di mata Amerika menjadi lebih besar dari yang diharapkan dan mengancam kepentingan nasional Amerika.


Bagaimana mencapai Soliditas Islam?

Dari rangkaian diatas, kembali ke pertanyaan dari tugas ini; bagaimana membangun soliditas Islam? 

Rasanya sebuah utopia yang sulit dicapai dan dilakukan karena 

  1. Pendekatan dan standard measurement  yang sangat in-tangible kalau kita bicarakan pada asas-asas Islam yang terkait pada hal-hal ibadah ritual dan hal-hal yang terkait hablumminallah.
  2. Sejarah kepemiminan politik dalam Islam sendiri yang sejak setelah wafatnya Rasulullah pun sudah ada perbedaan pendapat dalam tata cara pemilihan khalifah berikutnya. 


Tetapi kita harus memberikan kredit yang tinggi atas pencapaian islam dalam hal-hal yang tangible, muamalah, dan perwujudan Islam sebagai rahmatan lil alamin; pencapaian dalam hal ilmu pengetahuan, kedokteran, teknologi dan semua hal-hal yang TANGIBLE, bisa diukur secara numeric dan jelas angkanya.


Potensi Besar Dalam Khasanah Zakat


Muslims are among the poorest of the poor in the world. Around 40% of the Muslim population languishes in abject poverty, with nearly 350 million living under US$1.25 a day (COMCEC, 2014).

Ada potensi yang sangat menarik dalam ekonomi zakat, sebagai instrument mensolidkan dunia Islam. Zakat adalah salah satu pilar terpenting dalam ajaran Islam, menjadi rukun Islam yang ke empat. Kalau kita melihat potensi zakat ini dalam membangun soliditas umat, sangatlah besar. Karena :

  1. Zakat itu adalah rukun Islam ke empat, yang artinya setiap muslim harusnya paham bahwa menunaikan zakat adalah salah satu aspek terpenting dalam ber Islam. Dan setiap perintah untuk mendirikan Shalat dalam Al-Qur’an selalu di gabungkan dengan kata-kata ‘dan tunaikanlah zakat’.
  2. Dan ini adalah aspek yang tangible, bisa di ukur. Berbeda dengan aspek politik / kekuasaan yang intangible dan multi tafsir.


Selama ini wacana dalam potensi zakat ini seolah berada di ruang ‘atas’ dan mengawang-ngawang, sehingga umat yang tingkat pendidikannya relatif rendah, menjadi termarginalkan pada konsep-konsep yang seharusnya adalah sebuah keseharian mereka.

Menurut data Islamic Development Bank, potensi zakat di dunia Islam adalah sebesar 600 milyar dollar per tahun. Sementara total populasi umat Islam di dunia saat ini adalah sejumlah 1,8 milyar jiwa. Ini berarti secara rata-rata, setiap Umat Islam di dunia (terlepas apakah yang bersangkutan adalah mustahik atau muzaki) rata-rata mendapatkan alokasi sejumlah 331 Dollar per orang (dana dari zakat). 


Apa artinya pada neraca keseharian Islam?




No

Country Name

% Zakat Vs GDP percapita

No

Country Name

% Zakat Vs GDP percapita

No

Country Name

% Zakat Vs GDP percapita

1

Mozambique

69,3%

21

Syria

24,4%

41

Jordan

5,5%

2

Sierra Leone

65,0%

22

Mauritania

24,4%

42

Suriname

4,7%

3

Gambia

64,5%

23

Uzbekistan

22,9%

43

Libya

4,7%

4

Niger

62,1%

24

Cameroon

20,4%

44

Turkmenistan

4,2%

5

Yemen

60,5%

25

Pakistan

20,3%

45

Gabon

3,6%

6

Afghanistan

53,2%

26

Djibouti

15,1%

46

Kazakhstan

3,3%

7

Togo

45,0%

27

Bangladesh

15,1%

47

Turkey

2,9%

8

Uganda

44,9%

28

Cote d'Ivoire

14,6%

48

Lebanon

2,8%

9

Somalia

44,8%

29

Nigeria

14,0%

49

Malaysia

2,7%

10

Burkina Faso

42,0%

30

Egypt

13,3%

50

Maldives

2,4%

11

Guinea

38,9%

31

Tunisia

9,3%

51

Oman

1,7%

12

Tajikistan

37,6%

32

Palestine

9,3%

52

Saudi Arabia

1,5%

13

Comoros

37,3%

33

Morocco

9,2%

53

Bahrain

1,3%

14

Mali

34,9%

34

Indonesia

7,8%

54

Kuwait

1,1%

15

Chad

34,9%

35

Azerbaijan

7,0%

55

Brunei

1,0%

16

Guines-Bissau

34,3%

36

Algeria

6,9%

56

United Arab Emirates

0,8%

17

Sudan

33,6%

37

Iran

6,7%

57

Qatar

0,5%

18

Benin

32,1%

38

Guyana

6,6%




19

Kyrgyzstan

27,1%

39

Albania

5,9%




20

Senegal

25,8%

40

Iraq

5,8%




*Tabel; Dengan total potensi dana zakat di dunia Islam sebesar 600millar dollar, sementara total populasi Muslim di dunia sejumlah 1,8 milyar jiwa, maka secara rata-rata bagi setiap muslim akan tersedia dana sebesar US$ 333 dari dana Zakat yang bisa dikumpulkan di seluruh dunia Islam, dan kemudian hal ini di bandingkan dengan GDP per capita mereka. Data hanya untuk negara anggota OIC


Dari 57 Negara anggota OIC, di 30 Negara OIC, akan tersedia alokasi dana zakat perkapita penduduk setara dengan minimal 10% dari GDP per kapita mereka. Bahkan 6 negara-negara tersebut (Mozambique, Sierra Leone, Gambia, Niger, Yemen dan Afghanistan), potensi zakat rata-rata perkapita itu sudah diatas 50% GDP per kapita mereka. Ini angka yang sangat besar. 

Kemudian jika jumlah dana yang teralokasikan bagi setiap jiwa muslim di negara tersebut (US$ 333 / orang) dikalikan dengan jumlah penduduk muslim negara itu, akan didapat ‘dana alokasi’ zakat seluruh umat muslim dunia, dan kemudian dibandingkan dengan total GDP negara tersebut. Di beberapa negara itu bisa mencapai 67% dari GDP Negara, dan 24 negara dari 57 negara anggota OIC ini akan mencapai diatas 10% dari GDP.








Figur dan profile graphic ini bukan angka / statistik yang sederhana. Ini sebuah statistik yang dahsyat. Bagaimana satu orang umat di Mozambique, memiliki pendapatan rata-rata pertahun (GDP per kapita) hanya sampai US $ 481/ tahun, sementara dari dana zakat yang bisa di kumpulkan seluruh dunia dan kemudian dibagikan ke setiap orang anggota OIC, orang tersebut bisa mendapatkan income lagi sebesar US$ 331 dollar (68,9 % dari yang bisa dia dapatkan).

Ini juga berarti sebuah negara seperti Niger, dengan total populasi negara yang 22,3 juta jiwa, memiliki populasi muslim sebesar 98,45 atau 21,9 juta jiwa, maka jika setiap penduduk negara muslim anggota OIC itu mendapatkan alokasi dana dari zakat sebesar US$ 331 per kapita, maka total alokasi dana zakat untuk Niger adalah sebesar 7,2 milliar dolar. Ini Setara dengan 68% dari GDP Niger yang di angka 10,7 milliar dolar.




Potential Zakat dari Seluruh Muslim Dunia

US$‎  600.000.000.000

Populasi Muslim di Seluruh Dunia

1.800.000.000

Rata-rata alokasi zakat untuk setiap jiwa muslim

US$. 333



No

  1. Country Name

(B) Total Population

(C)  

% Moslem population

(D)

actual moslem population

(E)

GDP (nominal)

(F)

potential zakat accumulation

% F/E

1

Niger

22.314.743

98,4%

21.957.707,1

10.717.700.000

7.277.193.457

67,9%

2

Somalia

15.636.171

99,0%

15.479.809,3

8.210.000.000

5.130.297.363

62,5%

3

Gambia

2.228.075

95,1%

2.118.899,3

1.159.290.000

702.242.735

60,6%

4

Yemen

29.579.986

99,0%

29.284.186,1

17.452.500.000

9.705.325.182

55,6%

5

Sierra Leone

7.901.454

78,0%

6.163.134,1

3.976.200.000

2.042.577.536

51,4%

6

Afghanistan

31.575.018

99,0%

31.259.267,8

22.925.700.000

10.359.904.069

45,2%

7

Comoros

873.724

98,3%

858.870,7

781.300.900

284.645.758

36,4%

8

Tajikistan

8.931.000

96,7%

8.636.277,0

8.176.100.000

2.862.223.189

35,0%

9

Mali

19.973.000

92,4%

18.455.052,0

19.247.700.000

6.116.348.259

31,8%

10

Guinea

12.218.357

84,4%

10.312.293,3

11.698.800.000

3.417.686.237

29,2%

11

Sudan

41.394.625

90,7%

37.544.924,9

43.160.800.000

12.443.087.990

28,8%

12

Burkina Faso

20.870.060

61,6%

12.855.957,0

15.867.600.000

4.260.703.788

26,9%

13

Pakistan

212.742.631

96,4%

205.083.896,3

264.000.000.000

67.968.626.260

25,7%

14

Mauritania

4.077.347

99,0%

4.036.573,5

5.540.500.000

1.337.795.715

24,1%

15

Senegal

16.209.125

96,4%

15.625.596,5

21.722.700.000

5.178.613.962

23,8%

16

Chad

15.692.969

55,3%

8.678.211,9

12.240.900.000

2.876.121.183

23,5%

17

Kyrgyzstan

6.389.500

88,0%

5.622.760,0

8.029.300.000

1.863.487.480

23,2%

18

Uzbekistan

33.412.688

96,7%

32.310.069,3

47.892.000.000

10.708.159.267

22,4%

19

Palestine

4.780.978

97,6%

4.666.234,5

9.828.000.000

1.546.477.107

15,7%

20

Guines-Bissau

1.604.528

50,0%

802.264,0

1.728.651.000

265.885.245

15,4%

21

Djibouti

1.078.373

96,9%

1.044.943,4

2.380.300.000

346.313.734

14,5%

22

Bangladesh

166.290.000

89,8%

149.328.420,0

378.768.000.000

49.490.222.065

13,1%

23

Egypt

98.467.400

94,9%

93.445.562,6

263.868.117.949

30.969.601.393

11,7%

24

Mozambique

28.861.863

18,0%

5.195.135,3

15.017.000.000

1.721.764.696

11,5%

25

Tunisia

11.551.448

99,0%

11.435.933,5

41.956.700.000

3.790.081.549

9,0%

26

Morocco

34.974.200

99,0%

34.624.458,0

129.033.000.000

11.475.190.826

8,9%

27

Benin

11.733.059

23,8%

2.792.468,0

12.200.000.000

925.475.964

7,6%

28

Jordan

10.381.500

97,2%

10.090.818,0

44.794.500.000

3.344.285.191

7,5%

29

Syria

18.499.181

92,8%

17.167.240,0

77.460.000.000

5.689.543.345

7,3%

30

Nigeria

193.392.517

50,4%

97.469.828,6

475.566.900.000

32.303.318.152

6,8%

31

Algeria

43.378.027

97,6%

42.336.954,4

208.773.400.000

14.031.255.888

6,7%

32

Indonesia

268.074.600

87,2%

233.761.051,2

1.152.889.600.000

77.472.769.979

6,7%

33

Azerbaijan

9.981.457

96,9%

9.672.031,8

47.926.500.000

3.205.491.649

6,7%

34

Iran

82.321.600

99,0%

81.498.384,0

413.114.300.000

27.010.083.694

6,5%

35

Togo

7.538.000

14,0%

1.055.320,0

6.078.600.000

349.752.721

5,8%

36

Cote d'Ivoire

25.720.000

37,5%

9.645.000,0

58.000.000.000

3.196.532.795

5,5%

37

Iraq

39.127.900

99,0%

38.736.621,0

233.402.400.000

12.838.038.301

5,5%

38

Uganda

40.006.700

11,5%

4.600.770,5

29.690.000.000

1.524.781.108

5,1%

39

Albania

2.862.427

80,3%

2.298.528,9

16.146.900.000

761.775.319

4,7%

40

Libya

6.569.864

96,9%

6.366.198,2

46.923.000.000

2.109.876.763

4,5%

41

Turkmenistan

5.634.555

93,0%

5.240.136,2

46.401.900.000

1.736.678.803

3,7%

42

Cameroon

24.348.251

18,3%

4.455.729,9

41.748.000.000

1.476.711.960

3,5%

43

Turkey

82.003.882

98,0%

80.363.804,4

761.455.000.000

26.634.062.851

3,5%

44

Maldives

427.756

98,4%

420.911,9

5.169.800.000

139.498.051

2,7%

45

Kazakhstan

18.446.552

70,0%

12.912.586,4

190.469.800.000

4.279.471.840

2,2%

46

Lebanon

6.065.922

61,3%

3.718.410,2

56.379.400.000

1.232.350.452

2,2%

47

Malaysia

32.666.700

63,7%

20.808.687,9

380.261.000.000

6.896.387.071

1,8%

48

Oman

4.672.823

85,9%

4.013.955,0

85.636.500.000

1.330.299.498

1,6%

49

Saudi Arabia

33.413.660

93,0%

31.074.703,8

793.219.500.000

10.298.736.112

1,3%

50

Bahrain

1.543.300

70,3%

1.084.939,9

39.703.100.000

359.569.308

0,9%

51

Kuwait

4.226.920

74,1%

3.132.147,7

140.146.300.000

1.038.052.142

0,7%

52

Brunei

421.300

75,1%

316.396,3

14.791.100.000

104.859.632

0,7%

53

Suriname

573.085

13,9%

79.658,8

4.226.900.000

26.400.416

0,6%

54

UAE

9.682.088

76,9%

7.445.525,7

427.830.200.000

2.467.586.002

0,6%

55

Gabon

2.109.099

11,2%

236.219,1

18.096.500.000

78.287.409

0,4%

56

Guyana

786.508

6,4%

50.336,5

3.911.700.000

16.682.458

0,4%

57

Qatar

2.772.947

67,7%

1.877.285,1

193.906.000.000

622.167.283

0,3%

*Tabel; Jika setiap muslim ada dana alokasi (dari zakat) sebesar US$333/orang, lalu dikali dengan jumlah actual muslim di negara itu, kemudian dibandingkan dengan GDP Negara.


Kesimpulan

Semangat membangun soliditas Islam akan tetap tertanam di dalam jiwa setiap muslim sampai hari Kiamat datang. Tetapi jika hal ini dicoba dicapai dengan terlebih dahulu meraih kekuasaan politik, di dorong dengan claim-claim ruhuyihah, primordial, kenapa ‘Golongan saya’ yang paling pantas memimpin / menjadi khalifah diantara semua pilihan kaum muslimin yang tesedia lainnya; hal ini rasanya tidak akan pernah menghadirkan soliditas tersebut. Karena dalam sejarahnya, bahkan sejak awal, setelah wafatnya Rasulullah, sudah terjadi perbedaan politik di dalam Islam sendiri tentang bagaimana kekuasaan / power dipindahkan dari satu khalifah ke khalifah berikutnya.

Ghirah seperti ini, kerap dibayangi ego dan emosi bahwa ‘saya dan golongan saya’ lah yang benar, hanya akan menjadikan umat muslim menjadi permainan pihak lain dan menjadikan ghirah tersebut sebagai bahan bakar untuk kita (muslim) bekerja dengan ‘seolah-olah’ demi kepentingan kita, padahal kita hanya proxy dari kepentingan Mereka.

Di sisi lain, pencapaian terbesar peradaban Islam membentang luas di sudut-sudut pengetahuan, baik science, matematika, engineering, kedokteran maupun filsasat. Hal-hal yang mengisi ruang TANGIBLE dalam cara berpikir dan berdebat / penyampaiannya ke public. Hal-hal yang tangible, terukur secara angka akan dengan lebih mudah di cerna tanpa banyak perdebatan yang berkepanjangan.

Karenanya, untuk membangun soliditas dunia islam ini, rasanya kalau kita kembali bergerak dengan pola merebut kekuasaan terlebih dahulu dan di support oleh - oleh claim atas ‘wahyu’, claim kebenaran teologis terhadap golongan/partai/kekuatan politik lainnya; rasanya hanya akan mengulang langkah yang sama, berputar-putar tanpa membawa hasil yang significant, malah menjadi proxy kepentingan pihak lain.

Dengan perkembangan teknologi IT, sosial media dan lainnya, sebenarnya kita (umat muslim) bisa bergerak membangun soliditas itu dimulai dari salah satu rukun islam, yaitu zakat. Pendistribusian zakat yang merata kepada semua mustahik yang membutuhkan, ternyata nilainya sangat dahsyat, bisa mencapi 70% dari GDP per capita mereka, dan jika di akumulasikan untuk satu negara, itu bisa mencapai 67% dari total GDP negara tersebut.

Dana sebesar ini akan sangat cukup untuk sebuah game changer, karena bisa di alokasikan untuk kebutuhan dasar umat; pendidikan dan Kesehatan. Maka dari sana, soliditas nanti akan tercapai.