The Pursuit of Happyness
Sudahkah anda menonton film ini ? “The Pursuit of Happyness”?
Kalau belum, saya sarankan anda segera menontonnya.
Bagi saya, ada beberapa film yang berpengaruh cukup besar terhadap cara pandang saya atau terkadang ‘menegur’ saya secara tidak langsung, atau terkadang menciptakan kaca-kaca di mata saya yang terus terang bagi seorang yang keras kepala spt saya, hal itu adalah sebuah berkah. Beberapa film itu membawa pengaruh cukup besar karena cara pengungkapannya yang sangat satir, pahit dan membuat anda tertawa terbahak-bahak padahal dalam hati anda sebenarnya ingin menangis. Film-film tersebut adalah (highly recommend to watch them) : Children of Heaven (Iran), Turtles Can Fly (Iraq), Life is Beautiful (Italia) dan terakhir “The Pursuit of Happyness”
The Pursuit of Happyness dibintangi oleh Will Smith dan berbeda dengan 3 film lainnya, film ini murni dari Hollywood, jika anda pemerhati film dan kebudayaan anda akan tahu cita rasa ‘propaganda’ dari sebuah Hollywood movie jika dibandingkan dg film2 dari Negara lainnya. Tapi lupakanlah itu, seperti yang saya ungkapkan tadi, film-film tersebut berhasil menampar saya karena cara pengungkapannya dan khusus untuk The Pursuit of Happyness, film ini menampar saya juga dikarenakan oleh kapan dan dimana saya menonton film ini. Well, saya berharap semoga film ini juga akan berhasil menampar anda setelah menontonnya.
The Pursuit of Happyness diangkat dari sebuah kisah nyata seorang ayah, Chris Gardner, dengan anaknya yang masih balita dipertengahan tahun 80an di amerika. Ditengah kondisi ekonomi amerika yang dilatarbelakangi kebijakan perang bintang dibawah Ronald Reagan. Si ayah harus berjuang menghidupi keluarganya dengan berjualan alat scan untuk pasien yang harus dijual ke rumah-rumah sakit dan tempat praktek dokter. Untuk menghidupi keluarga yang hanya terdiri dari satu istri dan satu anak balitanya, dia setidaknya harus menjual 2 alat perbulan, tidak banyak memang, tapi ternyata susahnya minta ampun. Bahkan kadang berminggu-minggu tidak berhasil menjual satu produkpun, yang berarti harus makan dengan mengandalkan gaji istri yang seorang paramedis, kondisi yang ‘memalukan’ bagi seorang pria di amerika. Dan kemudian dibumbui dengan kasus satu alat yang dibawa lari oleh seorang pengamen.
Derita di perparah dengan kaburnya sang istri (siapa yang mau punya suami tanpa penghasilan) dan diusir dari apartemen karena tidak sanggup bayar sewa. Dan terpaksalah si ayah dan anak ini mencari tempat tinggal di luar, terkadang jika dewi fortuna menghampiri, mereka bisa tidur di shelter milik pemerintah, tetapi jika lagi apes, seringkali harus tidur di dalam kamar mandi umum. Ketika bangun pagi, si ayah memandikan anaknya di sink tempat cuci piring, dan kemudian berangkat bekerja. Anda tahu apa pekerjaan Chris sekarang selain menjual scan tadi ? seorang pegawai magang/trainee di perusahaan broker saham, tanpa digaji selama 6 bulan.
Disini anda akan menyaksikan bagaimana kehilangan sepatu berarti kiamat (karena tidak ada uang untuk membelinya kembali), dan bahkan tidak ada uang untuk membayar tilang karena parkir yang salah dan pilihannya adalah menginap di penjara selama 24 jam sementara besok harus menghadi interview untuk pekerjaan yang diidam-idamkan akan membawa perbaikan ekonomi. Disini anda juga akan menyaksikan bagaimana mimpi-mimpi mendorong seseorang untuk tetap survive dan berkreasi mengeluarkan segala kemampuan yang dimiliki.
Pendeknya di film ini anda akan menyaksikan bagaimana getirnya hidup, dimana setiap sen sangat berarti dan juga keceriaan canda ayah dan anak ketika mereka mandi di pagi hari. Film ini sengaja tidak menampilkan kesuksesan Chris, yang pada tahun 1996 berhasil membukukan salah satu penjualan terbesar di amerika. Film diakhiri dengan happy ending khas Hollywood dimana Chris akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaannya setelah training tanpa bayaran selama 6 bulan mengalahkan rekan-rekan lainnya. Sebenarnya itu bukan berarti apa-apa, apalagi mungkin dengan dibandingkan dengan keadaan anda saat ini. Hal itu Cuma berarti, Chris sekarang mendapatkan kerjaan tetap dan juga penghasilan tetap yang berarti, keterjaminan makanan dan tempat tinggal bagi dirinya dan anaknya. Hanya itu.
Seperti yang saya sebutkan tadi di awal, bagi saya film ini menampar saya selain karena jalan ceritanya seperti film yang lainnya, juga karena disebabkan factor tempat dan waktu menontonnya.
Saat itu pikiran saya sedang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan ; mengapa begini? Mengapa begitu? Kok pekerjaannya jadi seperti ini? Ini kok kayaknya agak menyimpang dari apa yang disampaikan waktu interview dulu? Ah…nanti saya akan protes dan bertanya maunya apa begitu saya sampai di kantor Jakarta lagi?. Alam pikiran yang mulai diwarnai oleh protes dan yaaa..kok gini sih. Setelah tertidur sesaat, begitu terbangun saya mengacak-acak secara acak layar sentuh di depan kursi saya, memasang headphone dan terperangkaplah di film ini diantara 500an option chanel yang saya miliki.
Setelah film itu berakhir, saya merasa ada sesuatu yang menampar saya, bahwa sebenarnya masih banyak yang tidak seberuntung kita, masih banyak yang hidupnya lebih susah dari pada kita, masih banyak yang merindukan pekerjaan apapun dan akan memberikan semua kreatifitas dan dedikasinya untuk pekerjaan tersebut untuk sesuatu yang sangat dasar ; makan dan tempat tinggal. Belum lah untuk sebuah karir, preference pekerjaan dan fasilitas kantor lainnya.
Di tengah lamunan seperti itu, pramugari cantik tersebut bertanya pada saya “would like more drink sir? We have coffee, tea or juice” Well…this is Emirates Airline Flight, even it is just economic class, but this is Emirates Airline Flight, long distance flight. Dan di udara jauh diatas permukaan bumi di kabin Emirates Airline, saya menonton The Pursuit of Happyness, menggambarkan perjuangan seorang ayah hanya demi sepotong roti dan kasur untuk tidur anaknya, dan saya kok masih memiliki sikap kurang puas dengan pekerjaan saya.
Hal itu menampar saya, saya tidak seharusnya begitu. Seharusnya bisa lebih bersyukur, terimakasih Tuhan. Waktu yang sangat tepat, Dan dalam seminggu perjalanan tersebut, akhirnya tetap bisa bangun pagi-pagi dengan semangat untuk kerja, hingga teman saya bertanya “why you always wake up so early even thought it was long meeting on night before?” and I said “first, I need to pray as Moslem and then I prefer to go to swim even only for 15 minutes, I need sport. And the most important things is, if I wake up quiet late, I will be so lazy whole day”
“bersyukurlah dengan pekerjaan yang kita miliki, karena banyak orang lain di luar sana yang sangat berharap dengan pekerjaan anda dan sanggup untuk memberikan semua hidupnya untuk itu”