Saturday, August 31, 2019

Si Diplomat Baru



Saya tergelitik dengan pembicaraan via whattsapp dengan salah satu diplomat kita yang ditempatkan di salah satu negara sahabat. Saya sempat bertemu dengan beliau beberapa kali, gambaran saya beiiau adalah seorang yang cerdas, baik dan alim.

Sebelum ditempatkan di negara tersebut, sempat kami bertukar pikiran beberapa kali dan saya juga berikan beberapa nama / kontak penduduk asli negara yang akan jadi tempat bertugasnya, yang kebetulan saya kenal dengan baik, yaa siapa tahu bisa membantu beliau nanti disana.

Sampai semalam, beliau minta nomor hape seorang pengusaha lokal disana. Dan saya berikan langsung. Tapi saya membatin, sudah dua bulan beliau di negara itu, dan rasanya sudah lama juga saya bercerita tentang si pengusaha lokal ini, lha kok beliau tidak tahu nomor handphonenya? padahal saya kenal si pengusaha ya dari KBRI tempat beliau bertugas sekarang, harusnya staff kedutaan disana pasti punya nomor kontak orang ini. Wong saya tahunya dari pejabat yang dia gantikan kok.

Dan dengan lugu saya bertanya: bapak kayaknya belum pernah mengontak ibu ini ya?
Jawabnya: belum pak, karena sejak saya ditempatkan disini dari dua bulan lalu, sampai sekarang belum keluar keputusan apakah saya yang akan ditempatkan di fungsi ekonomi atau rekan saya yang lain. Sebelum keputusan itu definitif, saya membatasi diri untuk bertemu dengan counterpart pak.

Nah disinilah kekeliruan bepikir terjadi menurut saya

Sebelum ada isnandar sebagai pedagang, doni sebagai diplomat, susi sebagai koki, cecep sebagai jaksa, Amri sebagai dokter
kita kan sebenarnya adalah SAYA sebagai MANUSIA

Lha kalau sebagai MANUSIA, apa yang salah kalau saya bertemu dengan MANUSIA lainnya?

Ada dua rezim berpikir yang dipakai dalam menjalankan negara dan membentuk pranata sosial
Rezim pertama:
semua orang itu cenderung salah dan jahat, kecuali yang punya bukti kalau dia bukan orang jahat
Nah sayangnya negara ini TANPA KITA SADARI, dibangun dengan rezim berpikir begini
Contoh: Semua orang itu jahat, kecuali yang punya SURAT KETERANGAN BERKELAKUAN BAIK :)

Rezim kedua: sebaliknya

Jadi mungkin cara berpkiir yang terbangun di diri beliau adalah, si ibu pengusaha itu akan jadi counterpart saya, kalau saya di fungsi ekonomi, nanti akan ada kemungkinan terjadi kong kalikong antara saya dan semua kewenagan saya dengan beliau yang pengusaha
Jadi saya membatasi diri dulu. Cara berpikir yang SUDAH BENAR menurut pranata rezim pertama tadi

Tapi cobalah lihat kehidupan sehari-hari
Ketika kita pindah ke negara / lokasi baru. Berapa orang baru yang anda akan temui setiap hari.
Katakanlah anda sedang mengantri di carefour dan bertemu dan berbincang akrab dengan orang yang mengantri di depan anda
apa anda mengajukan pertanyaan “eh, anda pengusaha gak? kalau iya saya harus batasi diri nih, karena saya pegang fungsi ekonomi KBRI disini, bisa conflict of interest kita nanti”

Preeettt! siapa elu?!

Saya bilang akhirnya, pak apa bapak tidak pernah berpikir, siapa tahu si ibu itu anda udah pernah bertemu, gak sengaja pas sedang ngantri di  kasir carefour? saya bisa cerita ke bapak kalau beliau ke carefour, suka bawa troli dua buah dan isinya semua makanan cemilan yang full MSG tuh pak, kripik-kripik, biskuit, buaaanyaaak banget dah kalau dia belanja.
Karena di rumah beliau banyak rakyat yang harus dikasih cemilan!
Apa bapak lantas menghindari semua pengunjung carefour yang bapak amati berperilaku seperti yang saya gambarkan? 
biar tidak bertemu si ibu pengusaha SEBELUM posisi bapak definitig
dan jadinya gak akan ada conflict of interest 

aduuuh, hidup kok dibikin susah dengan jabatan kita ya




Jariang VS Randang



Harare, Agustus 2009. Akhirnya landing di Zimbabwe, kota terakhir dari 4 kota yang jadi cita2 untuk dikunjungi sejak masih SD. Landing diatasio jam 9 malam, bandara Harare cukup modern, jauh lebih bagus dibanding Nairobi, apalagi Dar Es Salaam, bahkan dibanding tetangganya South Africa pun, bandara ini  lebih baik daripada capetown, meski dibawah Johannesyburg. Semua sisa-sisa kejayaan negara Eritrea yang bersalin rupa menjadi Zimbabwe.
Setelah menunggu lebih dari tiga jam, dan bandara mulai sepi, lampu-lampu dimatikan, it is confirm "I lost my luggage, damn!". 

Akhirnya bergerak menuju hotel di tengah malam, hanya dgn ransel di tangan, celana training, baju kaos dan jaket. 
Keesokan harinya, pertama kali dalan sejarah traveling, I need to contact Indonesian embassy. Dan lalu mereka pandu bagaimana caranya menuju kedutaan dari hotel. 
Ini bulan agustus! Semua kedutaan sedang merayakan hari kemerdekaan, banyak makanan dan lomba tradisional 17 agustus khas kampung di Indonesia. Bulutangkis, balap karung, tarik tambang, dll. Terpaksa harus ikuti semua.

Karena jarang sekali orang Indonesia yang ke zimbabwe dan juga sebagai "hukuman" karena aku sudah bolak-balik ke Africa tanpa sekalipun lapor ke kedutaan, maka kali ini sederet undangan ramah tamah dan makan malam dgn pegawai kedutaan langsung jadi schedule utama.
Hari kedua, makan malam di rumah uda Rizal dan uni Upik. Di kedutaan kemarin, uda Rizal senang dan bangga bukan main terhadap kolega yang lain di kedutaan karena ternyata akhirnya ada WNI yang make business di Harare setelah crisis ekonomi dan orang padang!. "Nandar, bisuak makan malam di tampek uda yo, ni upik masak randang, jan dibandiang pulo jo randang kapau ndak"

Besoknya, uda rizal jemput saya di hotel dan kita bergerak menuju rumah  beliau. Krisis xarekonomi membuat lampu jalanan kadang mati dan nyala tdk tentu, tergantung supply listrik. Alhamdulillah begitu sampai di rumah beliau, listrik menyala, sehingga pagar elektrik tersebut bisa dibuka dari remote di dalam mobil.


-------
"Ayo Ndar, makan wak lai, iko ado randang ko ah, dan ado gulai jariang bagai" da rizal.
"Hah! Gulai jariang? Mantap mah da!" 

Dan saya pun mengambil sesendok rendang dan dua sendok jariang. Well, I am not jariang lover, but traveling life create me to consume meat frequently, and "gulai jariang" as to day menu? What an opportunity"

"Tambah lah randangnyo ndar, jan baso2 lho ndak", kali ini uni upik yang bicara, diiringi listrik yang mati, dan lilin di atas meja yg dari tadi sudah disiapkan da rizal, membuat randang dan jariang tidak terlihat bedanya.
Dan saya? Kembali menyendok randang ala kadarnya, kadang cuma bumbunya, tapi menyendok jariang dengan 2 x sendok. 

Dan basa-basi tersebut berlangsung terus selama makan, dimana da rizal dan uni upik selalu meminta saya menambah rendang ke piring dan saya ikuti dengan "menambah jariang! bukan rendang"

Beberapa suap terakhir, setelah bicara kesana kemari, mulai dari politik, ekonomi, sejarah zimbabwe dan tentu saja Robert Mugabe. Saya curious soal jariang ini dan bertanya "Da Rizal, memangnyo uda dapek dari ma jariang ko? Kalau ndak salah iko kan tumbuhan tropis yo, tapi rasonyo cuma urang asia tenggara yang makan!"

"Itulah Ndar, uni Nandar tu nyo maniak jariang dari dulu, waktu hamil nan gadang ko sen, ngidamnyo jariang, paniang uda wakatu tu Ndar"

"Ondeh! Batua tu ni?"
"Iyo ndar, antah apolah salero uni ko, ndak bisa pisah dari jariang tu doh", ni Upik

"Memangnyo ado urang jua jariang di zimbabwe ko da?" Tanya saya, sambil menyendok lagi gulai jariang, lampu mulai nyala, dan barulah terlihat wajah ni upik ternyata yang kuatir melihat stok jariang di piring yang mulai menipis. Sebagian besar sudah saya makan!

"Ndak do doh Ndar, dima lo ado urang nan jua jariang disiko"

"Jadi baa caronyo uda jo uni punyo jariang ko?"

"Uda Rizal ko suami nan elok ndar" uni upik menjelaskan. "Dek inyo tahu uni suko jariang, inyo selalu menyisihkan pitih untuak minta keluarga nan di padang kirim jariang bakilo2 kamari, dikirim pakai paket, dibalikannyo bagai uni freezer untuak manyimpan jariang tu, bia ndak tumbuah jadi bibit. Pernah listrik mati berhari2, rusak jariang uni agak 5 kilo di kulkas, manangih uni Ndar"

"Ondeh, mode tu bana ni?"
"Iyo ndar"
"Kalau randang, zimbabwe kan penghasil sapi, pasti murah yo. Jadi jariang uni ko maha bana kini ko yo? Makanan mewah ko mah, import langsuang dari padang" muka saya mulai merah, tidak nyaman, dan jariang terakhir itu nyangkut di tenggorokan, jika Nabi Adam dapek jakun-jakun karena buah khuldi atau apel dalam riwayat yang lain, sekarang jakun-jakun saya bertambah besar karena "jariang".

"Iyo ndar" ni upik pasrah, stok gulai jariangnyo habih dimakan tamu tak tahu di untuang. Raut muka agak berkerut, mungkin menggumam "Paja kalera! abih jariang den di lantuangnyo surang sen." 










Harare, Zimbabwe, 2009