Si Diplomat Baru
Saya tergelitik dengan pembicaraan via whattsapp dengan salah satu diplomat kita yang ditempatkan di salah satu negara sahabat. Saya sempat bertemu dengan beliau beberapa kali, gambaran saya beiiau adalah seorang yang cerdas, baik dan alim.
Sebelum ditempatkan di negara tersebut, sempat kami bertukar pikiran beberapa kali dan saya juga berikan beberapa nama / kontak penduduk asli negara yang akan jadi tempat bertugasnya, yang kebetulan saya kenal dengan baik, yaa siapa tahu bisa membantu beliau nanti disana.
Sampai semalam, beliau minta nomor hape seorang pengusaha lokal disana. Dan saya berikan langsung. Tapi saya membatin, sudah dua bulan beliau di negara itu, dan rasanya sudah lama juga saya bercerita tentang si pengusaha lokal ini, lha kok beliau tidak tahu nomor handphonenya? padahal saya kenal si pengusaha ya dari KBRI tempat beliau bertugas sekarang, harusnya staff kedutaan disana pasti punya nomor kontak orang ini. Wong saya tahunya dari pejabat yang dia gantikan kok.
Dan dengan lugu saya bertanya: bapak kayaknya belum pernah mengontak ibu ini ya?
Jawabnya: belum pak, karena sejak saya ditempatkan disini dari dua bulan lalu, sampai sekarang belum keluar keputusan apakah saya yang akan ditempatkan di fungsi ekonomi atau rekan saya yang lain. Sebelum keputusan itu definitif, saya membatasi diri untuk bertemu dengan counterpart pak.
Nah disinilah kekeliruan bepikir terjadi menurut saya
Sebelum ada isnandar sebagai pedagang, doni sebagai diplomat, susi sebagai koki, cecep sebagai jaksa, Amri sebagai dokter
kita kan sebenarnya adalah SAYA sebagai MANUSIA
Lha kalau sebagai MANUSIA, apa yang salah kalau saya bertemu dengan MANUSIA lainnya?
Ada dua rezim berpikir yang dipakai dalam menjalankan negara dan membentuk pranata sosial
Rezim pertama:
semua orang itu cenderung salah dan jahat, kecuali yang punya bukti kalau dia bukan orang jahat
Nah sayangnya negara ini TANPA KITA SADARI, dibangun dengan rezim berpikir begini
Contoh: Semua orang itu jahat, kecuali yang punya SURAT KETERANGAN BERKELAKUAN BAIK :)
Rezim kedua: sebaliknya
Jadi mungkin cara berpkiir yang terbangun di diri beliau adalah, si ibu pengusaha itu akan jadi counterpart saya, kalau saya di fungsi ekonomi, nanti akan ada kemungkinan terjadi kong kalikong antara saya dan semua kewenagan saya dengan beliau yang pengusaha
Jadi saya membatasi diri dulu. Cara berpikir yang SUDAH BENAR menurut pranata rezim pertama tadi
Tapi cobalah lihat kehidupan sehari-hari
Ketika kita pindah ke negara / lokasi baru. Berapa orang baru yang anda akan temui setiap hari.
Katakanlah anda sedang mengantri di carefour dan bertemu dan berbincang akrab dengan orang yang mengantri di depan anda
apa anda mengajukan pertanyaan “eh, anda pengusaha gak? kalau iya saya harus batasi diri nih, karena saya pegang fungsi ekonomi KBRI disini, bisa conflict of interest kita nanti”
Preeettt! siapa elu?!
Saya bilang akhirnya, pak apa bapak tidak pernah berpikir, siapa tahu si ibu itu anda udah pernah bertemu, gak sengaja pas sedang ngantri di kasir carefour? saya bisa cerita ke bapak kalau beliau ke carefour, suka bawa troli dua buah dan isinya semua makanan cemilan yang full MSG tuh pak, kripik-kripik, biskuit, buaaanyaaak banget dah kalau dia belanja.
Karena di rumah beliau banyak rakyat yang harus dikasih cemilan!
Apa bapak lantas menghindari semua pengunjung carefour yang bapak amati berperilaku seperti yang saya gambarkan?
biar tidak bertemu si ibu pengusaha SEBELUM posisi bapak definitig
dan jadinya gak akan ada conflict of interest
aduuuh, hidup kok dibikin susah dengan jabatan kita ya