Tuesday, May 25, 2010

Krisis Ekonomi Dubai : antara ‘Want’ dan ‘Need’ buyer

Beberapa minggu kebelakang, dunia dikejutkan dengan tanda-tanda akan datangnya krisis ekonomi gelombang kedua dengan munculnya berita bahwa Dubai World, salah satu penggerak utama roda ekonomi dubai mengajukan penundaan pembayaran cicilan utang setidaknya selama 6 bulan ke depan.

Beberapa dekade kebelakang Dubai dikenal sebagai suatu keajaiban perekonomian dunia arab. Disaat negara-negara sekitarnya menggantungkan perekonomian dari kandungan minyak, termasuk Abu Dhabi sebagai ibu kota Uni Emirates Arab, Dubai dibawah kepemimpinan Al Maktoum berhasil menunjukkan pada dunia bahwa perekonomian arab bisa tumbuh maha dahsyat bukan dengan berbasis sumber daya alam. Sebuah visi jauh ke depan yang patut diacungi jempol. Al Maktoum berhasil menjadikan Dubai sebagai salah satu pusat bisnis dunia setelah London, New York, Tokyo, Hongkong dan Singapore. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh kawasan sekitar dengan lahirnya Qatar financial centre, dan juga geliyatnya Amman, Jordania yang juga berambisi untuk membangun central business baru.

Hampir semua perusahaan multinational berbondong-bondong membuka kantor perwakilan, dan tidak sedikit juga kantor utama di Dubai. Dan dalam 10 tahun ke belakang, terjadi pergeseran landscape perekonomian dunia, dimana produksi seperti berkonsentrasi ke negara China sedangkan financial dan head office berkonsentrasi ke dubai. Dubai pun berhasil memanfaatkan keunggulan geografisnya dengan sangat sempurna. Jazirah arab, merupakan ‘pusat’ dunia. Jika mengambil jazirah arab sebagai titik tengah, dalam radius kurang dari 9 jam penerbangan, anda akan menyapu 2/3 penduduk bumi. 8 jam penerbangan ke selatan dubai, kita akan menyapu seluruh daratan Africa, dengan perbedaan waktu paling lama hanya 3 jam. Ke utara dan barat, anda akan menyapu sebagian besar wilayah eropa sampai ke Moscow. Ke timur, anda akan menyapu separoh daratan asia sampai ke Jakarta. Sebuah keunggulan geografis yang sangat unggul jika dibandingkan dengan Singapore yang hanya bisa mengcover asia dalam 9 jam penerbangan, begitu juga Tokyo. New York malah hanya bisa mengcover benua amerika dan London hanya bisa mengcover benua eropa. Dubai berhasil memanfaatkan keunggulan geografis yang selama ini dimiliki jazirah arab dengan sempurna.

Lalu kenapa semua kedigdayaan dubai yang sangat mencengangkan ini bisa tiba-tiba berada di situasi yang menghkhawatirkan dengan semua kewajiban hutang yang menggunung dan terindikasi menuju ‘gagal bayar’?. Disinilah kita harus mencermati perbedaan antara real based ecomonic dan value based economic.
- Real based economic : ekonomi yang didasarkan pada harga real, harga material dari sebuah produk
- Value based economic : adalah harga real produk ditambah dengan ‘value’ dari produk tersebut.
Contoh : harga sebuah rumah, akan ditentukan pertama oleh harga bahan-bahan baku pembuatnya, yaitu harga semen, harga tanah, harga batu bata, harga cat dan material lainnya ditambah upah tenaga kerja, itu semua akan menjadi real based price. Tetapi ketika rumah tersebut diiming-imingi bahwa anda akan satu gedung dengan David Beckham dan Michael Schumacher misalnya, harganya akan jauh lebih tinggi.
Begitu juga harga sepasang sepatu, real based price-nya akan ditentukan oleh harga tali sepatu, karet, kain dan upah tenaga kerjanya. Tetapi ketika sepatu tersebut diberi merek Nike, Adidas atau Reebok dan dengan promosi bahwa sepatu yang sama juga dipakai oleh Tiger Wood, Ronaldo atau pun Rafael Nadal, harganya jadi berbeda.
Ada harga brand dan value of life yang berhasil di transaksikan pada benda tersebut.
Kalau kita mau runut lebih ke hulu, sumber daya alam seperti minyak, tembaga, batu bara, hasil perkebunan, hasil pertanian semua masih merupakan real based products. Sedangkan produk-produk olahannya dengan menyandang brand-brand yang kuat, akan berubah menjadi value based products.

Kesempatan bagi Indonesia

Coba kita cermati struktur ekonomi dubai dari grafik berikut

Catatan : sumber data, www.dsc.gov.ae

Kalau kita perhatikan, struktur ekonomi dubai, hanya 2.52 % ecomomi dubai disumbang oleh real based economic, yaitu mining, agricultural, livestock dan fishery. Sektor real estate (dengan The Palm dan Schumacher apartementnya, tentu saja sudah menjadi value based economic, real estate sector tentu erat kaitan dengan construction, pun begitu dengan tourism, financial services dan social and personal services . Lima hal ini menyumbang 35.45 % terhadap struktur economi dubai.

Dan factor sisa lainnya (61.2%): manufacturing, wholesale retail, transport and storage, ini erat kaitannya dengan aktifitas perdagangan. Jika hanya 2.5% struktur ekonomi dubai didukung oleh sumber daya alam dan perikanan, tentu total akan berkisar 2.5% juga gudang dan aktivitas perdaganan yang dialokasikan untuk industry ini, pun hanya 2.5 % juga aktivitas transportasi yang terkait dengan sektor ini. Dan sisa 97.5% dari 61.2 % ini akan teralokasi juga untuk sisi-sisi value based economic. Jadi kembali bisa disimpulkan bahwa sisi-sisi value based economic menyumbang sebagian besar struktur ekonomi dubai.

Ironisnya, penduduk dubai tak lebih dari 4 juta orang dan 90% nya adalah expatriate, yang berarti dubai hanya memiliki pasar domestic yang sangat terbatas, termasuk untuk high class property itu sendiri. Dan produk yang ditawarkan adalah property, sementara expatriate hanya diizinkan memiliki property pada level hak guna. Akhirnya produk-produk property super mahal itu pun memiliki pangsa pasar hanya pada kalangan jet set dunia, para artis Hollywood, pengusaha super kaya, artis super kaya. Sebuah niche market yang sangat volatile, dan juga kalangan yang pertama kali mendapatkan impact dari krisis ekonomi dunia.

Nah, ketika krisis financial menyapa dunia tahun lalu, yang pertama orang-orang ini lakukan adalah, mengurangi hal-hal yang high value, hal-hal yang sifatnya gengsi dan gagah-gagahan, dan kembali merapat kepada sisi ‘need’ dibanding sisi ‘want’. Mengapa saya harus beli rumah mahal-mahal dan harus satu gedung dengan Michael Schumacher segala kalau saya tetap bisa menikmati rumah yang nyaman di tempat lain. Dan mengapa saya harus beli rumah di The Palm yang notabene pulau bikinan manusia yang sangat mahal kalau saya bisa membeli rumah dengan kualitas yang sama di tempat lain. Hal ini menggoyang perekonomian dubai dengan seketika. Karena krisis ekonomi membuat orang merapat ke sisi ‘need’ daripada sisi ‘want’. Dan semua investasi yang besar untuk bisa dijual pada margin ‘want’ sekarang harus dijual pada margin ‘need’.


Sebaliknya, coba kita perhatikan struktur export Indonesia seperti berikut :

Sumber data : www.bps.go.id




Kalau kita cermati, sebagian besar struktur ekonomi Indoneisa masih berada pada real based economic. Masih pada taraf jualan pada sisi ‘need’, belum berkutat pada ‘want’. Karena sektor pertanian, pertambangan, industrti pengolahan migas adalah sektor-sektor ekonomi pada sisi dasar, sisi ‘need’, dan ini menyumbang 30.26%. Sektor-sektor industri yang berpotensi pada sisi ‘need’ hanya ditopang sebesar 21.40% dari sektor perdagangan hotel dan restaurant serta jasa.
Yang menarik adalah, jika kita melangkah lebih ke hilir, Industri bukan migas kita ditopang oleh sektor-sektor yang berada di tengah-tengah antara ‘need’ dan ‘want’ produk. Industri tersebut adalah makanan, minuman dan tembakau, industri tekstil, barang kulit dan alas kaki, industri kayu, industri kertas dan percetakan, industri pupuk, kimia dan karet, industri produk semen dan penggalian bukan logam, industri logam dasar, industri peralatan, mesin dan perlengkapan transportasi dan produk olahan lainnya. Dan semuanya menyumpang 22.98% terhadap PDB.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa produk-produk indonesia sebenarnya memiliki kualitas yang kelas dunia. Sepatu Nike, Adidas di produksi di Indonesia, Toyota Innova dan banyak merek produk otomotif lainnya adalah produksi Indonesia, boneka Barbie diproduksi di Indonesia, bola untuk keperluan piala dunia di produksi di Indonesia, celana Levi’s diproduksi di Indonesia, produk-produk susu dan makanan lainnya di produksi di Indonesia. Tetapi sebagian besar semuanya adalah merek asing.
Jadi kalau kita kembali pada sisi ‘need’ dan ‘want’ economic, kita sebenarnya sanggup menjual produk pada harga ‘need’ tetapi kita menjualnya pada si pemilik merek pada harga ‘want’. Sepatu yang diproduksi di tangerang, dijual dengan komponen harga dasar (material ditambah upah) ke negara lain, dan lalu mereka mencantumkan Nike di sepatu tersebut dan lalu mereka bisa menjualnya ke seluruh dunia dengan harga yang berkali-kali lipat dari harga beli. Begitu juga denga celana Levi’s, bola adidas, bahkan mobil toyota Innova. Boneka Barbie kita jual pada harga dasar pada si pemilik merek, dan dengan mereknya mereka bisa menjual sebagai ‘Barbie’ dengan harga yang berlipat-lipat.

Seandainya kita bisa lebih cerdas dan mau menyalib di tikungan, seharusnya krisis ekonomi dunia saat ini adalah kesempatan emas Indonesia untuk tampil memimpin di pasar dunia. Kita bisa belajar dengan kesuksesan HTC sebagai pemain baru untuk produk branded handset. HTC bisa dengan cepat tampil ke depan karena semua orang tahu kalau HTC adalah pabrik yang selama ini menjalankan produksi untuk 2 merek terkenal : O2 dan Dopod.

Coba kita bayangkan jika pabrik jeans, sepatu, bola, dan mobil di Indonesia, berani memproduksi barang dengan brandnya sendiri dan pemerintah mendorong promosi brand indonesia tersebut. Jika kita bisa menjual boneka ‘Butet’, ‘Upik’, dan ‘Neng’ dan berhadapan dengan merek Barbie, kita akan dengan segera mendapatkan keuntungan perdagangan yang berlipat-lipat. Karena kualitas, sistem produksi bertaraf ISO dan lainnya sejatinya telah dimiliki oleh bangsa ini. Di tengah krisis ekonomi dunia, yang sebenarnya pada sebagian besar level masyarakat belum terlalu parah sehingga mereka harus mengurangi konsumsinya, Indonesia seharusnya bisa menyalip di tikungan. Ketika bandul psikologi pembeli bergesar dari sisi ‘want’ ke arah ‘need’, yang terjadi adalah negosiasi internal si buyer. Dari pada membeli sepatu merek Nike atau Adidas, atau boneka Barbie, mungkin kali ini harus membeli merek yang lebih murah. Nah, coba bayangkan kalau merek yang lebih murah tersebut diketahui ternyata di produksi oleh pabrik yang selama ini memproduksi sepatu Nike atau Adidas itu sendiri? . Boneka “Butet”, “Upik” dan “Neng” berasal dari pabrikan yang selama ini memproduksi barbie?

Krisis ini kesempatan kita untuk introduce dan mengembangkan brand-brand baru – made in Indonesia – dengan taraf dan kualitas yang setara dengan brand-brand mapan lainnya. Karena toh pada kenyataannya brand-brand mapan itu diproduksi oleh pabrik yang sekarang melaunching brand-brand baru tersebut. Pergesaran bandul psikologis customer dari sisi ‘want’ menuju ‘need’ akan menjadi insentif besar untuk memperkenalkan brand baru tersebut. Katakanlah kalau kita lagi-lagi tidak percaya diri untuk langsung berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan produk dari bangsa lain, maka juallah produk-produk se kualitas Barbie tersebut dengan harga yang lebih murah dari branded productnya, juallah sepatu se kualitas Nike dan Adidas tersebut dengan harga yang lebih murah dari Nike dan Adidasnya, sehingga kita mendapatkan opportunity untuk memperkenalkan brand baru.

Strategi harga adalah strategi yang selalu paling ampuh dan dijamin keberhasiannya. Tetapi sejatinya, kita bukannya mengurangi keuntungan, tetapi malah menambah keuntungan. Mengapa? Karena sistem kerja contract manufacturing, menyebabkan sebuah syal batik produksi jogja terjual pada harga 20 ribu pada pemilik merek, lalu pemilik merek (katakanlah mereknya “My Syal”) dengan kekuatan brandnya bisa menjual syal batik tersebut seharga 150 ribu. Nah, margin 130 ribu ini setelah dikurangi biaya transportasi dan overhead lainnya, adalah value dari sebuah brand itu. Di kontras dengan harga dasar 20 ribu tadi, sudah terlihat bahwa pemilik brand mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat dibanding pekerja pembuat syal itu sendiri. Sekarang, ketika bandul psikologis pembeli bergeser dari sisi “want” menuju “need” kita akan ambil kesempatan dengan introduce produk dengan kualitas yang sama dengan merek “Syal dewe’” dan lalu melepasnya di pasaran seharga 75 ribu. Harga “Syal dewe’” Cuma 50% dibanding “My Syal”, pembeli yang pintar akan melihat bahwa kualitas kedua produk ini equal, dan negara kita berhasil menjual produk yang sama dari harga semula 20 ribu menjadi 75 ribu.
Kita akan segera memperoleh devisa yang berlimpah-limpah, dan Indonesia bukan negara kuli terhadap bangsa lainnya lagi.

Salam


Isnandar - Praktisi Export
note : artikel di tulis pada bulan Januari 2010

4 Comments:

Blogger Unknown said...

Mantap sdr. Nandar. Memang begitulah kita "kurang pintar" dan "kurang berani" padahal kemampuan ada.
Salam
Asep'88

6:24 PM  
Blogger Unknown said...

Artikel yang menarik Kang,

Penawaran "branded" sendiri itu memang sangat bagus namun tidak mudah. para "pedagang" kita tentu nya juga mengetahui perihal tersebut dan punya pertimbangan sendiri lainnya mengenai hal itu. Mungkin ada hal lain yang selama ini menghambat proses menuju "branded" tsb, entah itu birokrasinya yang sulit atau macem2 yg saya sendiri tidak tahu..hehe
Yang jelas setahu saya Indonesia memiliki asosiasi pedagang spt Kadin atau sejenisnya (tlg koreksi bila salah)yang pastinya sebagai suatu organisasi/badan yang dapat mewadahi dan membantu proses pewujudan hal tersebut, indonesia pasti bisa bila ada "niat" dan "action" dan "doa"..


Salam,

Deddy

10:13 PM  
Blogger isnandar said...

Dear Kang Asep and Deddy

terimakasih banyak atas commentnya.
soal branded, bukannya kita tidap bisa, yang lebih tepat adalah kurang berani.
dan karena kurang berani itu pulalah kita selalu dapat 'royalti' semata. gas ditambang oleh orang luar, dan kita dapat royalti 1-3 dollar per btu, sementara harga pasarannya adalah 13 dollar. emas ditambang dan kita juga dapat royaltinya saja

karena kita terlahir di 'surga' dimana semua ada, karenanya bekerja keras dan berusaha menciptakan 'ada dari tiada' belumlah jadi budaya kita. tidak seperti jepang.

12:06 AM  
Blogger Andi said...

Luar biasa, Menggugah sekali......

6:41 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home